Selasa, 24 September 2013

sejarah singkat perkembangan teknologi pertanian di Indonesia




Sejarah Singkat Perkembangan Teknologi Pertanian di Indonesia
          Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia.

         Pertanian dan pertanian sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahtareaan manusia melalui ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan, pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian tersebut.

      Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian di Indonesia yang di dalamnya diterapkan teknologi pertanian baik teknologi sederhana maupun sudah sampai teknologi mutakhir.

         Pertanian, khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahu 1975. Pertanian tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya.

         Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika. Pertanian generasi II menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan. Untuk generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik. Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi.

        Bukti kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi komoditas-komoditas pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas, tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. Begitu pula apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di bumi ini.

        Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di Indonesia.

      Sebelum mendirikan sekolah pertanian, pemerintah Hindia Belanda telah memprogramkan program culturstelseels di Jawa dan Sumatra, barulah sekolah-sekolah pertanian dan teknik muncul satu per satu mendukung program tersebut. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya Middelbare Landboouw Scholl, Middelbare Bosboouw Scholl, danNederlandssch Indische Veerleen Scholl. Untuk sekolah teknik, Hindia Belanda juga mendirikan perguruan tinggi teknik bernama Technische Hoogeshool de Bandoeng pada tahun 1920. Mulai dari situlah berkembangnya ilmu teknik dan teknologi pertanian Indonesia. Selain itu, jauh sebelum banyak dibentuknya sekolah pertanian dan teknik, telah dibentuk terlebih dahulu lembaga dinas penyuluhan (Lanbouw Voorlichting Dients) pada tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian (BPLPP, 1978; Iskandar, 1969).

       Setelah merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkecuali teknologi pertanian. Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun 1970. Penyuluhan pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian. Pada saat itu juga telah ada lembaga yang bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik seperti lembaga penelitian pemerintah non-departemen dibawah koordinasi kemenristek. Namun pada saat itu, yang menjadi kendala dalam pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang terfokusnya penelitian, kurangnya dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh konsentrasi pada penelitian tersebut. Padahal menurut Mangunwidjaja (2009) terdapat empat gatra yang saling berkaitan dalam kebijakan penerapan dan pengembangan teknologi, yaitu 
1.             pentingnya pengetahuan dan teknik dasar bagi teknologi,
2.             pengembangan sumberdaya manusia untuk pengembangan teknologi,
3.             percepatan pengalihan hasil penelitian dan pengembangan untuk diterapkan secara komersial,
4.             diperolehnya keuntungan dari penerapan teknologi tersebut.
Apabila keempat gatra tersebut tidak terlaksana, berarti kebijakan Pelita I dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat dikatakan berhasil menggapai tujuan yang dicita-citakan.

         Pada tahun 60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras dikenalkan dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras, Intensifikasi Khusus, Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut dikenalkan beberapa teknologi modern seperti benih unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia, irigasi dan lain-lain. Selain itu ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).

        Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat cepat, penyuluhan tidak lagi mengajak petani bagaimana menanam yang baik, tetapi menuntut petani menerapkan teknologi melalui alih teknologi untuk mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Pada era inilah Revolusi Hijau dilakukan di Indonesia. Revolusi Hijau sendiri mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida yang sesuai dengan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Di samping itu, kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.


Sejarah Singkat Perkembangan Teknologi Pertanian di Indonesia
          Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia.

         Pertanian dan pertanian sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahtareaan manusia melalui ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan, pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian tersebut.

      Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian di Indonesia yang di dalamnya diterapkan teknologi pertanian baik teknologi sederhana maupun sudah sampai teknologi mutakhir.

         Pertanian, khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahu 1975. Pertanian tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya.

         Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika. Pertanian generasi II menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan. Untuk generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik. Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi.

        Bukti kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi komoditas-komoditas pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas, tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. Begitu pula apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di bumi ini.

        Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di Indonesia.

      Sebelum mendirikan sekolah pertanian, pemerintah Hindia Belanda telah memprogramkan program culturstelseels di Jawa dan Sumatra, barulah sekolah-sekolah pertanian dan teknik muncul satu per satu mendukung program tersebut. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya Middelbare Landboouw Scholl, Middelbare Bosboouw Scholl, danNederlandssch Indische Veerleen Scholl. Untuk sekolah teknik, Hindia Belanda juga mendirikan perguruan tinggi teknik bernama Technische Hoogeshool de Bandoeng pada tahun 1920. Mulai dari situlah berkembangnya ilmu teknik dan teknologi pertanian Indonesia. Selain itu, jauh sebelum banyak dibentuknya sekolah pertanian dan teknik, telah dibentuk terlebih dahulu lembaga dinas penyuluhan (Lanbouw Voorlichting Dients) pada tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian (BPLPP, 1978; Iskandar, 1969).

       Setelah merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkecuali teknologi pertanian. Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun 1970. Penyuluhan pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian. Pada saat itu juga telah ada lembaga yang bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik seperti lembaga penelitian pemerintah non-departemen dibawah koordinasi kemenristek. Namun pada saat itu, yang menjadi kendala dalam pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang terfokusnya penelitian, kurangnya dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh konsentrasi pada penelitian tersebut. Padahal menurut Mangunwidjaja (2009) terdapat empat gatra yang saling berkaitan dalam kebijakan penerapan dan pengembangan teknologi, yaitu 
1.             pentingnya pengetahuan dan teknik dasar bagi teknologi,
2.             pengembangan sumberdaya manusia untuk pengembangan teknologi,
3.             percepatan pengalihan hasil penelitian dan pengembangan untuk diterapkan secara komersial,
4.             diperolehnya keuntungan dari penerapan teknologi tersebut.
Apabila keempat gatra tersebut tidak terlaksana, berarti kebijakan Pelita I dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat dikatakan berhasil menggapai tujuan yang dicita-citakan.

         Pada tahun 60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras dikenalkan dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras, Intensifikasi Khusus, Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut dikenalkan beberapa teknologi modern seperti benih unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia, irigasi dan lain-lain. Selain itu ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).

        Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat cepat, penyuluhan tidak lagi mengajak petani bagaimana menanam yang baik, tetapi menuntut petani menerapkan teknologi melalui alih teknologi untuk mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Pada era inilah Revolusi Hijau dilakukan di Indonesia. Revolusi Hijau sendiri mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida yang sesuai dengan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Di samping itu, kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.

       Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia tersebut demi tercapainya ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya mampu menjadi negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari 1984 sampai 1989. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi dampaknya. Kesenjangan terjadi di antara petani kaya dengan petani miskin, serta penyelenggara negara tingkat pedesaan. Sistem ini dinilai hanya menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan petinggi pemerintahan tingkat desa saja sedangkan petani miskin tidak merasakan keuntungannya. Antiklimaks pun terjadi. Kerusakan ekologi menjadi tidak terhindarkan karena pemakaian pestisida yang terlampau sering dan banyak yang menjadikan hama kebal terhadap pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak produksi pertanian. Produksi pertanian pun perlahan-lahan anjlok.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAox_uAa-etcci0_L-jNk-37jHCDO9ZoEwyJupkqumeuFxh3la-izMeUtbdrl-v7B-eo5xIo7FVaNMRaK6FJTODrnTS8CzE6kEWwHYs0P-_5cpj6SvfLWJbXFEWMY0nMr_VsrgyJvo-w/s320/32.jpg


      Dari kejadian tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam meningkatkan produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa. Bagaimanapun juga Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia pada swasembada pangan. Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan pemahaman yang lebih para pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang dialihteknologikan dan diterapkan sehingga berdampak yang kurang baik bagi ekosistem dengan beragam efek sampingnya di masa Revolusi Hijau tersebut.

        Sekarang seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan mengeliminasi sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya. Terlebih lagi sekarang ini pertanian tidak hanya dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Teknologi green house, kultur jaringan, nanoteknologi, dan tanam gantung dapat dijadikan alternatif. Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan mutu padi atau beras melalui bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan mengolah umbi-umbian dan serealia menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi.

       Itulah sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan berperan bagi pertanian Indonesia. Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya Revolusi Hijau dan swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu. Teknologi terus berkembang, pertanian terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus selalu disinkronisasikan agar pertanian yang kita perjuangkan ini dapat meraih cita-cita ketahanan pangan Indonesia serta menyejahterakan bangsa Indonesia. (AP/F3_45).





       Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia tersebut demi tercapainya ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya mampu menjadi negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari 1984 sampai 1989. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi dampaknya. Kesenjangan terjadi di antara petani kaya dengan petani miskin, serta penyelenggara negara tingkat pedesaan. Sistem ini dinilai hanya menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan petinggi pemerintahan tingkat desa saja sedangkan petani miskin tidak merasakan keuntungannya. Antiklimaks pun terjadi. Kerusakan ekologi menjadi tidak terhindarkan karena pemakaian pestisida yang terlampau sering dan banyak yang menjadikan hama kebal terhadap pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak produksi pertanian. Produksi pertanian pun perlahan-lahan anjlok.

      Dari kejadian tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam meningkatkan produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa. Bagaimanapun juga Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia pada swasembada pangan. Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan pemahaman yang lebih para pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang dialihteknologikan dan diterapkan sehingga berdampak yang kurang baik bagi ekosistem dengan beragam efek sampingnya di masa Revolusi Hijau tersebut.

        Sekarang seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan mengeliminasi sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya. Terlebih lagi sekarang ini pertanian tidak hanya dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Teknologi green house, kultur jaringan, nanoteknologi, dan tanam gantung dapat dijadikan alternatif. Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan mutu padi atau beras melalui bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan mengolah umbi-umbian dan serealia menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi.

       Itulah sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan berperan bagi pertanian Indonesia. Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya Revolusi Hijau dan swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu. Teknologi terus berkembang, pertanian terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus selalu disinkronisasikan agar pertanian yang kita perjuangkan ini dapat meraih cita-cita ketahanan pangan Indonesia serta menyejahterakan bangsa Indonesia. (AP/F3_45).

pemberian nutrisi hidroponik tomat



PEMBERIAN NUTRISI TANAMAN TOMAT SECARA HIDROPONIK

Rumah Pembibitan
  • Rumah bibit terbuat dari kayu/besi, dengan atap plastik UV (Ultra Violet Resistant). Lebar 6.4 m, tinggi bagian depan 25.2 m, double span, dan panjang sesuai dengan keperluan. Diding Rumah bibit ditutup dengan ‘insect screen’ (mesh >40). Bentuk sama dengan bentuk Greenhouse produksi. Lokasi hendaknya dekat dengan emplasemen.
  • Di dalam rumah bibit dibuat bangku dari kayu/besi yang digunakan untuk meletakkan panel bibit. Juga diberi naungan paranet 55%.

Alat Persemaian
  • Tray Semai : tray semai terbuat dari bahan plastik/mika, yang bisa ditutup agar tetap lembab.
  • Kertas Tissue : kertas tissue yang mudah menyerap air yang akan digunakan untuk mengecambahkan benih.
  • Sprayer (Hand Sprayer): volume 1 liter.
  • Pinset : digunakan untuk transplanting.
  • Panel bibit: isi 113 tanaman per panel.
  • Media semai : Rockwool (‘Grodan’) yang diisikan pada panel semai, atau media semai lain.
Penyemaian Benih
  • Letakkan 3-5 lapis kertas tissue ke dalam tray semai, kemudian basahi dengan air secukupnya.
  • Benih sebanyak 100-200 ditebar diatas kertas tissue yang telah dibasahi. Kemudian tray semai di tutup (klip/stapler) biarkan selama 5-7 hari di tempat yang tidak terkena cahaya langsung. Sebaiknya tray semai disimpan dalam ruang gelap sampai benih berkecambah.
  • Pertahankan agar kertas tissue selalu dalam keadaan lembab.
Transplanting
  • Isi Panel semai (Panel 113) dengan rockwool sampai penuh, dan basahi dengan air. Rockwool dipotong dengan ukuran 2x2x5 cm (sesuai dengan lubang panel). Bila menggunakan media lain isikan pada sel tray sampai penuh.
  • Benih yang sudah berkecambah di-transplanting/pindahkan dari tray semai ke panel semai menggunakan pinset. Setiap lubang diisi dengan 1 bibit tanaman.
  • Simpan panel semai di dalam rumah bibit sampai siap tanam (4-5 minggu). Siram bibit setiap hari dengan nutrisi, dan setiap 4 hari disiram dengan Gandasil-D dengan konsentrasi2 g/liter

Persiapan Nutrisi
  • Nutrisi yang dipakai adalah AB mix yang terdiri dari larutan nutrisi Stok A dan Stok B.
  • Nutrisi dilarutkan di dalam container A dan container B dengan volume masing-maing 90 liter.
  • Larutan stok A mengandung: KNO3, Ca(NO3)2, NH4NO3, FeEDTA, sedangkan Larutan stok B mengandung: KNO3, K2SO4, KH2PO4, MgSO4, MnSO4, CuSO4, ZnEDTA, H3BO3 dan NH4-MoO4.
  • Usahakan seluruh nutrisi teraduk secara merata pada masing-masing container.
  • Keperluan nutrisi Tomat disajikan pada Tabel.
Keperluan unsur hara makro pada tomat
NO
Unsur Hara
Jumlah (Meq/liter)
1
Kalsium
8.85
2
Magnesium
2.00
3
Kalium
5.385
4
Amonium
1.389
5
Nitrat
3.758
6
Sulfat
2.354
7
Phosphat
0.619

Keperluan unsur hara mikro pada tomat
NO
Unsur hara
Jumlah (ppm)
1
Fe
2.14
2
B
1.20
3
Zn
0.26
4
Cu
0.048
5
Mn
0.18
6
Mo
0.046

Persiapan Media Tanam
Pembuatan Arang sekam
  • Sekam padi kering dituangkan ke tungku pembakaran, 3 karubng di atas pemanggang dan 2 karung di bawah pemanggang atau di lantai tungku.
  • Keran air dari bak penampungan air dibuka dan air dibiarkan mengalir melalui pipa besi spiral yang dihubungkan dengan pipa pembuangan.
  • Bahan bakar disiramkan secukupnya pada sekam di kedua sisi lantai tungku kemudian api disulutkan dan sekam dibiarkan terbakar merata di atas pemanggang.
  • Sekam yang membara dibiarkan berjatuhan ke lantai tungku, dan tumpukan sekam di atas pemanggang diaduk-aduk dengan tongkat pengaduk sehingga lebih banyak sekam membara yang berjatuhan ke lantai tungku.
  • Pengadukan juga dilakukan pada tumpukan sekam dilantai tungku sehingga pengarangan sekam terjadi secara merata.
  • Sekam yang telah terbakar merata dan menjadi arang di lantai tungku ditarik dengan tongkat pengaduk ke bak penampungan arang sekam, kemudian disiram dengan air bersih sampai bara api padam. Hal ini dilakukan untuk mencegah hancurnya arang sekam menjadi abu.
Pengisian Polybag
  • Arang sekam yang telah dingin dimasukkan ke dalam polybag sebanyak 2 kg setiap polybag, kemudian diletakkan di bangku tanam sesuai dengan jarak tanam.
  • Pada tiap bangku tanam ditempatkan dua baris polybag yang letaknya berselingan (zig-zag).
  • Jarak antar baris 50 cm sedangkan jarak polybag dalam satu baris tanaman adalah 40 cm.


Penanaman
  •  Bibit yang telah berumur 4-5 minggu di persemaian, mempunyai tinggi 10 – 15 cm, atau 4 daun yang terbuka penuh siap untuk ditanam sesuai dengan jadwal tanam.
  • Media tanam arang sekam, sebelum ditanami diberi larutan nutrisi sebanyak 50 ml per polibag dan ditaburi Furadan 3 G secukupnya.
  • Bibit di panel semai sebelum ditanam disiran dahulu dengan air untuk memudahkan pencabutan bibit.
  • Bibit beserta media semai (rockwool) ditanam di tengah polybag yang sebelumnya telah disiapkan.
  • Daun-daun bibit dijaga dari percikan nutrisi dan diusahakan tidak menyentuh arang sekam.


Pemeliharaan
Pemupukan dan Penyiraman
  •  Pemberian nutrisi pada sistem hidroponik dilakukan bersamaan dengan penyiraman (Fertigasi), dan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam sistem hidroponik.
  • Jumlah nutrisi yang diberikan tidak sama tergantung pada umur tanaman dan kondisi cuaca.
  • Pda kondisi cuaca normal (suhu 25o C, kelembaban 80%) pemberian nutrisi dilakukan setiap jam sekali, pada cuaca mendung diberikan setiap 1.5 jam sekali, dan jika hujan diberikan 2-2.5 jam sekali.
  • Pemberian nutrisi dilakukan semenjak awal pertanaman sampai tanaman panen, mulai pukul07.00 – 16.30. Pada malam hari tidak dilakukan pemberian nurtisi.
  • Pada jam 07:00 – 09:00 suhu rumah kaca normal, maka pemberian dapat dilakukan setiap satu jam. Akan tetapi setelah pukul 09:00 – 16:00 shu rumah kaca diatas normal sehingga pemberian harus disesuaikan. Catatan: pemberian nutrisi dilakukan sampai kapasitas lapang (tidak terjadi luber). Jumlah dan saat pemberian nutrisi disajikan pada Tabel.
Tabel pemberian nutrisi pada tanaman
Berdasarkan kondisi suhu rumah kaca
Umur Tanaman
Waktu pemberian nutrisi (Pukul)

07:00
08:00
09:00
09:30-16:00

……………………..cc………………………….
1-8 MST
100
100
100
100
5-9 MST
150
150
150
150
10-15 MST
200
200
200
200
MST=Minggu Setelah Tanam
Penaungan
  • Bila terlalu panas naungi tanaman (terutama tanaman yang masih muda) dengan Paranet dengan intensitas naungan 55%.
  • Selanjutnya naungan bisa dipergunakan terus atau sesuai dengan keperluan untuk mengatur kualitas tanaman.
Pupuk Daun
  • Aplikasi pupuk daun dilakukan bila diperlukan. Dan harus diberhentikan 10 hari sebelum pemanenan.


Pengendalian Hama dan Penyakit
  • Pengendalian HPT dilakukan bila perlu saja, yaitu bila terlihat gejala adanya serangga atau penyakit.
  • Jangan menggunakan bahan KIMIA/PESTISIDA yang BERLEBIHAN untuk pengendalian HPT.
  • Hama Thrips biasa dikendalikan menggunakan : Ripcord 50 EC (2cc/l), atau Matador 25 EC(2cc/l), atau Decis 2.5 EC(2 cc/l air).
  • Hama Mite dikendalikan dengan Omite 570 EC (2cc/l) atau Kelthane MF (2cc/l).
  • Penyakit Bercak Daun Cercospora dapat dikendaliakan dengan Daconil 75 WP (2cc/l)


Pengajiran
  • Tanaman diajir pada umur 2-3 minggu setelah tanam mengunakan ajir benang yang dilitikan pada kawat yang dibentang dalam greenhouse setinggi 3m.
  • Ajir tali digantung vertikal dan ujungnya diikatkan pada batang Tomat.
  • Pengikatan dilakukan dengan tepat dan kuat akan tetapi tidak sampai melukai atau memotong tanaman.


Pengecekan Larutan Nutrisi
  • Kondisi nutrisi tanaman dikontrol dengan menggunkan alat EC (Electric Conductivity )meter. EC meter mengukur kandungan garam total di dalam larutan nutrisi.
  • Nutrisi yang diberikan mempunyai EC antara 1.6 –1.7 m mhos/cm, dan diharapkan akan meningkat menjadi 2.0 – 2.5 m mhos/cm di media tanam arang sekam setelah sehari dilakukan pemberian nutrisi.
  • Bila EC kurang dari 2 m mhos/cm harus dinaikkan dengan cara menambah nutrisi. Bila EC lebih dari 2.5 m mhos/cm sebaiknya diturunkan secara bertahan dengan cara penyiraman dengan air saja.


Panen dan Pasca Panen
  • Panen pertama dapat dilakukan mulai 9 minggu setelah tanam. Panen berikutnya setiap 5-7 hari sekali.
  • Buah yang sudah dipanen segera disortir (dipisahkan) berdasarkan grade yang dengan sesuai pesanan pasar.