Selasa, 24 September 2013

sejarah singkat perkembangan teknologi pertanian di Indonesia




Sejarah Singkat Perkembangan Teknologi Pertanian di Indonesia
          Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia.

         Pertanian dan pertanian sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahtareaan manusia melalui ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan, pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian tersebut.

      Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian di Indonesia yang di dalamnya diterapkan teknologi pertanian baik teknologi sederhana maupun sudah sampai teknologi mutakhir.

         Pertanian, khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahu 1975. Pertanian tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya.

         Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika. Pertanian generasi II menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan. Untuk generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik. Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi.

        Bukti kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi komoditas-komoditas pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas, tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. Begitu pula apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di bumi ini.

        Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di Indonesia.

      Sebelum mendirikan sekolah pertanian, pemerintah Hindia Belanda telah memprogramkan program culturstelseels di Jawa dan Sumatra, barulah sekolah-sekolah pertanian dan teknik muncul satu per satu mendukung program tersebut. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya Middelbare Landboouw Scholl, Middelbare Bosboouw Scholl, danNederlandssch Indische Veerleen Scholl. Untuk sekolah teknik, Hindia Belanda juga mendirikan perguruan tinggi teknik bernama Technische Hoogeshool de Bandoeng pada tahun 1920. Mulai dari situlah berkembangnya ilmu teknik dan teknologi pertanian Indonesia. Selain itu, jauh sebelum banyak dibentuknya sekolah pertanian dan teknik, telah dibentuk terlebih dahulu lembaga dinas penyuluhan (Lanbouw Voorlichting Dients) pada tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian (BPLPP, 1978; Iskandar, 1969).

       Setelah merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkecuali teknologi pertanian. Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun 1970. Penyuluhan pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian. Pada saat itu juga telah ada lembaga yang bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik seperti lembaga penelitian pemerintah non-departemen dibawah koordinasi kemenristek. Namun pada saat itu, yang menjadi kendala dalam pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang terfokusnya penelitian, kurangnya dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh konsentrasi pada penelitian tersebut. Padahal menurut Mangunwidjaja (2009) terdapat empat gatra yang saling berkaitan dalam kebijakan penerapan dan pengembangan teknologi, yaitu 
1.             pentingnya pengetahuan dan teknik dasar bagi teknologi,
2.             pengembangan sumberdaya manusia untuk pengembangan teknologi,
3.             percepatan pengalihan hasil penelitian dan pengembangan untuk diterapkan secara komersial,
4.             diperolehnya keuntungan dari penerapan teknologi tersebut.
Apabila keempat gatra tersebut tidak terlaksana, berarti kebijakan Pelita I dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat dikatakan berhasil menggapai tujuan yang dicita-citakan.

         Pada tahun 60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras dikenalkan dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras, Intensifikasi Khusus, Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut dikenalkan beberapa teknologi modern seperti benih unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia, irigasi dan lain-lain. Selain itu ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).

        Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat cepat, penyuluhan tidak lagi mengajak petani bagaimana menanam yang baik, tetapi menuntut petani menerapkan teknologi melalui alih teknologi untuk mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Pada era inilah Revolusi Hijau dilakukan di Indonesia. Revolusi Hijau sendiri mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida yang sesuai dengan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Di samping itu, kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.


Sejarah Singkat Perkembangan Teknologi Pertanian di Indonesia
          Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia.

         Pertanian dan pertanian sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahtareaan manusia melalui ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan, pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian tersebut.

      Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian di Indonesia yang di dalamnya diterapkan teknologi pertanian baik teknologi sederhana maupun sudah sampai teknologi mutakhir.

         Pertanian, khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahu 1975. Pertanian tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya.

         Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika. Pertanian generasi II menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan. Untuk generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik. Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi.

        Bukti kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi komoditas-komoditas pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas, tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. Begitu pula apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di bumi ini.

        Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di Indonesia.

      Sebelum mendirikan sekolah pertanian, pemerintah Hindia Belanda telah memprogramkan program culturstelseels di Jawa dan Sumatra, barulah sekolah-sekolah pertanian dan teknik muncul satu per satu mendukung program tersebut. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya Middelbare Landboouw Scholl, Middelbare Bosboouw Scholl, danNederlandssch Indische Veerleen Scholl. Untuk sekolah teknik, Hindia Belanda juga mendirikan perguruan tinggi teknik bernama Technische Hoogeshool de Bandoeng pada tahun 1920. Mulai dari situlah berkembangnya ilmu teknik dan teknologi pertanian Indonesia. Selain itu, jauh sebelum banyak dibentuknya sekolah pertanian dan teknik, telah dibentuk terlebih dahulu lembaga dinas penyuluhan (Lanbouw Voorlichting Dients) pada tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian (BPLPP, 1978; Iskandar, 1969).

       Setelah merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkecuali teknologi pertanian. Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun 1970. Penyuluhan pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian. Pada saat itu juga telah ada lembaga yang bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik seperti lembaga penelitian pemerintah non-departemen dibawah koordinasi kemenristek. Namun pada saat itu, yang menjadi kendala dalam pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang terfokusnya penelitian, kurangnya dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh konsentrasi pada penelitian tersebut. Padahal menurut Mangunwidjaja (2009) terdapat empat gatra yang saling berkaitan dalam kebijakan penerapan dan pengembangan teknologi, yaitu 
1.             pentingnya pengetahuan dan teknik dasar bagi teknologi,
2.             pengembangan sumberdaya manusia untuk pengembangan teknologi,
3.             percepatan pengalihan hasil penelitian dan pengembangan untuk diterapkan secara komersial,
4.             diperolehnya keuntungan dari penerapan teknologi tersebut.
Apabila keempat gatra tersebut tidak terlaksana, berarti kebijakan Pelita I dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat dikatakan berhasil menggapai tujuan yang dicita-citakan.

         Pada tahun 60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras dikenalkan dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras, Intensifikasi Khusus, Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut dikenalkan beberapa teknologi modern seperti benih unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia, irigasi dan lain-lain. Selain itu ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).

        Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat cepat, penyuluhan tidak lagi mengajak petani bagaimana menanam yang baik, tetapi menuntut petani menerapkan teknologi melalui alih teknologi untuk mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Pada era inilah Revolusi Hijau dilakukan di Indonesia. Revolusi Hijau sendiri mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida yang sesuai dengan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Di samping itu, kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.

       Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia tersebut demi tercapainya ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya mampu menjadi negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari 1984 sampai 1989. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi dampaknya. Kesenjangan terjadi di antara petani kaya dengan petani miskin, serta penyelenggara negara tingkat pedesaan. Sistem ini dinilai hanya menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan petinggi pemerintahan tingkat desa saja sedangkan petani miskin tidak merasakan keuntungannya. Antiklimaks pun terjadi. Kerusakan ekologi menjadi tidak terhindarkan karena pemakaian pestisida yang terlampau sering dan banyak yang menjadikan hama kebal terhadap pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak produksi pertanian. Produksi pertanian pun perlahan-lahan anjlok.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAox_uAa-etcci0_L-jNk-37jHCDO9ZoEwyJupkqumeuFxh3la-izMeUtbdrl-v7B-eo5xIo7FVaNMRaK6FJTODrnTS8CzE6kEWwHYs0P-_5cpj6SvfLWJbXFEWMY0nMr_VsrgyJvo-w/s320/32.jpg


      Dari kejadian tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam meningkatkan produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa. Bagaimanapun juga Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia pada swasembada pangan. Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan pemahaman yang lebih para pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang dialihteknologikan dan diterapkan sehingga berdampak yang kurang baik bagi ekosistem dengan beragam efek sampingnya di masa Revolusi Hijau tersebut.

        Sekarang seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan mengeliminasi sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya. Terlebih lagi sekarang ini pertanian tidak hanya dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Teknologi green house, kultur jaringan, nanoteknologi, dan tanam gantung dapat dijadikan alternatif. Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan mutu padi atau beras melalui bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan mengolah umbi-umbian dan serealia menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi.

       Itulah sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan berperan bagi pertanian Indonesia. Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya Revolusi Hijau dan swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu. Teknologi terus berkembang, pertanian terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus selalu disinkronisasikan agar pertanian yang kita perjuangkan ini dapat meraih cita-cita ketahanan pangan Indonesia serta menyejahterakan bangsa Indonesia. (AP/F3_45).





       Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia tersebut demi tercapainya ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya mampu menjadi negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari 1984 sampai 1989. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi dampaknya. Kesenjangan terjadi di antara petani kaya dengan petani miskin, serta penyelenggara negara tingkat pedesaan. Sistem ini dinilai hanya menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan petinggi pemerintahan tingkat desa saja sedangkan petani miskin tidak merasakan keuntungannya. Antiklimaks pun terjadi. Kerusakan ekologi menjadi tidak terhindarkan karena pemakaian pestisida yang terlampau sering dan banyak yang menjadikan hama kebal terhadap pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak produksi pertanian. Produksi pertanian pun perlahan-lahan anjlok.

      Dari kejadian tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam meningkatkan produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa. Bagaimanapun juga Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia pada swasembada pangan. Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan pemahaman yang lebih para pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang dialihteknologikan dan diterapkan sehingga berdampak yang kurang baik bagi ekosistem dengan beragam efek sampingnya di masa Revolusi Hijau tersebut.

        Sekarang seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan mengeliminasi sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya. Terlebih lagi sekarang ini pertanian tidak hanya dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Teknologi green house, kultur jaringan, nanoteknologi, dan tanam gantung dapat dijadikan alternatif. Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan mutu padi atau beras melalui bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan mengolah umbi-umbian dan serealia menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi.

       Itulah sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan berperan bagi pertanian Indonesia. Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya Revolusi Hijau dan swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu. Teknologi terus berkembang, pertanian terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus selalu disinkronisasikan agar pertanian yang kita perjuangkan ini dapat meraih cita-cita ketahanan pangan Indonesia serta menyejahterakan bangsa Indonesia. (AP/F3_45).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar